TULISAN
PUISI
1. Cermin
Aku terperangkat bayangku sebelum sempat menyerah
Genggaman tanganmu hanya sekedar jeruji
Kalau saja cerminku tidak pecah
Mungkin jemarimu masih kumiliki
Ditulis untuk Lomba Menulis Puisi Pendek oleh Bebuku Publisher, 2017



2. @absensicahaya
Seperti halnya dingin adalah absensi dari kalor,
Kegelapan hanyalah absensi dari cahaya.
-
Memoirs of My Thoughts.
Puisi-puisi pendek dalam bentuk caption foto di Instagram, ditulis in the heat of a time.
Instagram: @absensicahaya
Cerpen
1. Sebelum Tenggelam Matahari
Tidak ada yang pernah mengunjungi kuburan laki-laki itu.
Kalau saja bukan karena kebaikan Kak Tik, penjaga, sekaligus pengelola pekuburan yang tampak terang di tengah sawah yang kering di musim kemarau dan tersembunyi di selubung padi ketika menguning itu, mungkin kubur itu sudah tidak lagi tampak seperti kubur.
Kuburan itu terletak di paling barat. Cahaya matahari selalu mampir di kuburan itu sebelum tenggelam di cakrawala. Di ujung jalan setapak yang disisakan untuk dilewati peziarah, kuburan itu seakan menunggu seseorang untuk datang....
2. When Autumn Falls
The cold breeze dived through my hair as I took my hoodie off. I put my hands deeper into the pockets and looked around to find dead leaves falling from the sky.
Ah, I thought.
Autumn is here.
I threw myself to the ground and stared into the sky that afternoon. Up on a hill just behind my old school building. The white clouds were moving faster as the wind got stronger. The sky was getting really cloudy.
I sat with my back against a tree and a couple of squirrels went past me carrying their food supplies for winter. They stared at me for a few seconds. Their eyes were telling me that I was supposed to prepare for the cold weather. They blinked once and looked at each other. Deciding that maybe I didn’t want to survive winter, they climbed up a tree next to the one I was leaning my back on...
Berita
1. “Memuliakan Arsip dan Sejarah Muhammadiyah”
13 Februari 2020
SLEMAN, Suara Muhammadiyah – Masa lalu selalu aktual. Demikian dikutip dari Historia oleh Ahmad Muarif dalam Majelis Reboan, Rabu, 12 Februari 2020 yang bertempat di Rumah Baca Komunitas, Kanoman, RT.04/RW.05, Banyuraden, Gamping, Sleman.
Majelis Reboan yang digagas oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) berupaya memberi ruang diskusi untuk evaluasi internal Muhammadiyah dan membicarakan keresahan-keresahan yang muncul di Muhammadiyah. Selain itu Majelis Reboan juga diharapkan dapat menstimulus munculnya ide-ide dan gagasan baru untuk Muhammadiyah di masa depan...
2. "Pertimbangan untuk Menikah"
15 Februari, 2020
BANTUL, Suara Muhammadiyah –Mas, Aku Gak Mau Coklat, Aku Maunya Akad menjadi tema yang sedikit berbeda untuk Kamastu (Kajian Malam Sabtu), yang bertepatan dengan tanggal 14 Februari 2020 lalu. Kajian yang digagas oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) DIY dan bertempat di aula Gedung PWM DIY ini berlangsung tanpa menyentuh perdebatan yang berkaitan dengan cokelat dan bulan Februari. Kamastu kali ini hadir bersama ustaz Restu Sugiharto semata-mata untuk menanggapi keresahan yang hadir ketika mengimpikan sebuah pernikahan...
3. "Diperlukan Redesain Pelajaran Kemuhammadiyahan"
21 Februari, 2020
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah –Keresahan tentang mata pelajaran Kemuhammadiyahan menjadi agenda utama Majelis Reboan yang dipantik oleh Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah sekaligus Wakil Ketua PWM DIY, Arif Jamali Muis dan Penulis buku Pendidikan Karekter: Membangun Karakter Emas Menuju Indonesia Martabat, Bagus Mustakim, di Gedoeng Moehammadijah, Rabu malam (19/2).
Tema ‘Redesign Mata Pelajaran Kemuhammadiyahan dan Intitusi Pendidikan Muhammadiyah’ yang diusung tersebut adalah satu bagian dari tema besar Majelis Reboan yang digagas oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) dengan tema besar yaitu Penyampaian Visi Masa Depan Persyarikatan...
4. "Bersama Kesulitan Banyak Kemudahan"
15 Maret, 2020
BANTUL, Suara Muhammadiyah–Bersama kesulitan banyak kemudahan. Kata Abah Lilik Riza dalam Kajian Malam Sabtu, Jumat, 13 Maret 2020 di Aula Gedung PWM DIY. Kajian mingguan oleh AMM Yogyakarta kali ini bertema “Mencoba Mengobati Luka Hati” yang menghadirkan Abah Lilik Riza, founder Omah Jejak Jiwa dan owner Mulia Parenting Jogja sebagai pembicara.
Di awal sesi, Lilik Riza mengatakan bahwa semua orang punya masalah.
Menurutnya, masalah adalah sesuatu yang wajar. Bahkan, dunia ini isinya adalah masalah. Namun yang menjadi permasalahan adalah persepsi terhadap masalah yang masih sering salah...
Sebelum Tenggelam Matahari
Oleh Labibah Hanoum Hanif Salsabila
Tidak ada yang pernah mengunjungi kuburan laki-laki itu.
Kalau saja bukan karena kebaikan Kak Tik, penjaga, sekaligus pengelola pekuburan yang tampak terang di tengah sawah yang kering di musim kemarau dan tersembunyi di selubung padi ketika menguning itu, mungkin kubur itu sudah tidak lagi tampak seperti kubur.
Kuburan itu terletak di paling barat. Cahaya matahari selalu mampir di kuburan itu sebelum tenggelam di cakrawala. Di ujung jalan setapak yang disisakan untuk dilewati peziarah, kuburan itu seakan menunggu seseorang untuk datang.
Kak Tik selalu tiba lebih dulu. Setiap kamis sore setelah selesai salat asar, dia akan menyalakan pompa air untuk cuci kaki para peziarah dan tinggal lebih lama dari peziarah terakhir untuk mematikan lampu. Kak Tik menghafalkan semua letak kubur, yang lama dan yang baru. Di Syawal ketika banyak anak-anak yang merantau pulang untuk berziarah, dia akan setia menunggu, dan menunjukkan pada mereka letak kuburan keluarga mereka terdahulu.
Tidak ada satupun kuburan di tempat itu yang ditimbun beton. Antara satu kubur dengan yang lain kadang hanya dipisahkan oleh tanah yang kemudian disesaki dengan kubur yang lain sebab tak ada tanah sisa untuk disia-siakan. Ada beberapa pemuka agama yang ikut dikuburkan di sana. Meskipun begitu, pekuburan tersebut bukan pekuburan tertutup. Sebagian besar peziarah adalah warga sekitar yang mendoakan anggota keluarganya. Kak Tik menghafal wajah-wajah mereka. Karena itu, jika ada orang tak dikenal yang terlampau lama berdoa di salah satu kuburan seorang kyai, Kak Tik harus curiga.
Tetapi Kak Tik yakin, bahwa tidak ada yang pernah mengunjungi kuburan laki-laki itu. Kecuali, mungkin, malaikat penjaga kubur yang datang ketika dia dikuburkan, serta Kak Tik, yang merasa kasihan.
Kak Tik masih berseragam merah-putih ketika dia terakhir melihat laki-laki itu keluar dari masjid depan rumah. Rumah Kak Tik begitu dekat dengan masjid itu. Sampai-sampai, sepanjang hidup, tak pernah Kak Tik merasakan bangun subuh kesiangan. Tetapi Kak Tik tak pernah beribadah salat di masjid itu, meskipun sebenarnya lebih dekat daripada harus berjalan ke masjid di kampung sebelah. Tidak ada salawat tahrim, ataupun puji-pujian sebelum adan di masjid tersebut. Kak Tik sering bertanya-tanya, “Mengapa tidak subuh di masjid depan saja? Bukankah lebih dekat, dan aku bisa segera tidur setelah subuh usai? Apa pula bedanya masjid di depan rumah dengan masjid di kampung sebelah?” Tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, ayahnya selalu menyeret Kak Tik ke kampung sebelah dan tak pernah membiarkan Kak Tik tidur setelah subuh.
Ketika kakeknya meninggal, Kak Tik mengenali laki-laki itu di antara orang-orang yang turut berkumpul pada hari-hari yang ditentukan. Dari situ, Kak Tik mengetahui bahwa laki-laki itu dipanggil Lik Sum. dia tidak pernah menyentuh rokok dalam gelas, tetapi dia terus datang, meskipun hanya sendirian. Sedang, Kak Tik tahu, ada seorang anak laki-laki seumuran dengannya yang sering menggandeng tangan laki-laki itu setiap keluar dari masjid di depan rumahnya. Orang-orang selalu tertawa-tawa di sekitar Lik Sum. Bertanya tentang kabar persyarikatan, entah apa itu –Kak Tik tidak mau lagi bertanya pada ayahnya-menertawakan kehadiran laki-laki itu, serta menghembuskan asap rokok di wajahnya.
Seluruh keluarga Lik Sum pergi tak berselang lama setelah Lik Sum berpulang. Kak Tik yang telah terbiasa untuk tidak bertanya, tidak pernah tahu ke mana, ataupun kapan mereka akan kembali. Dan, hingga hari itu, dia memilih membersihkan kubur daripada harus bertanya.
Seperti biasa, itu adalah kamis yang ramai. Terlebih lagi itu adalah kamis pertama bulan Syawal. Anak-anak dari perantauan telah kembali. Dengan baju yang masih bagus, mereka melepas alas kaki dan mulai berjalan hati-hati di atas tanah yang retak karena kering, sambil sesekali meringis karena tidak sengaja menginjak kubur orang dalam perjalanan menuju kubur orang-orang yang mereka rindukan. Kak Tik telah selesai membersihkan kubur kakek dan ayahnya dan sedang menggosok lantai tempat peziarah mencuci kaki ketika ada sebuah tepukan di pundak.
Kak Tik menoleh. Orang yang menepuk pundaknya mundur selangkah. Cahaya matahari menimpa wajahnya. Kak Tik terdiam. Yang menepuk pundaknya adalah seorang laki-laki yang asing, dengan batik yang sama birunya dengan masjid di depan rumah Kak Tik, dengan bibir yang tak berbekas rokok, dengan wajah bersih, yang tak dia kenali dari tetangga-tetangganya yang bekerja di bawah panas terik dan keringnya Juni. Mereka berpandangan. Kak Tik sungguh ingin bertanya, tetapi suaranya tercekat. Pel di tangannya bergetar.
“Permisi, Pak, apa sampean tahu letak makam mbah Maun?”
When Autumn Falls
The cold breeze dived through my hair as I took my hoodie off. I put my hands deeper into the pockets and looked around to find dead leaves falling from the sky.
Ah, I thought.
Autumn is here.
I threw myself to the ground and stared into the sky that afternoon. Up on a hill just behind my old school building. The white clouds were moving faster as the wind got stronger. The sky was getting really cloudy.
I sat with my back against a tree and a couple of squirrels went past me carrying their food supplies for winter. They stared at me for a few seconds. Their eyes were telling me that I was supposed to prepare for the cold weather. They blinked once and looked at each other. Deciding that maybe I didn’t want to survive winter, they climbed up a tree next to the one I was leaning my back on.
“Cute, eh?’’
A familiar voice came in with the rustling noise of broken leaves. I looked to my left and saw a boy still in his school uniform. He smiled to me as our eyes met. The sunshine touched his hair, giving it a shade of gold. I couldn’t help but to smile back.
“Yeah,” I said. Short.
“I can’t believe it’s already autumn, It feels like summer was just yesterday.” He leaned on the tree’s bark, looking through the leaves above us.
“Yeah,” I said again. Short.
He looked at me with annoyance, “Say something else, willya,” his arms folded on his chest.
I looked at him and smile. But I didn’t answer. I couldn’t.
He sighed, he slide his back down and crunched some leaves.
“You know how people say autumn is a time of changes?” He waited for my answer, I only nodded. Knowing I wouldn’t say anything, he continued, “Maybe you should change this year.”
“To what?”
“You know,” he shrugged, “you should talk more.”
I laughed, “I would,”
“’But I couldn’t’,” he rolled his eyes as he mimicked my voice.
“Exactly, you know me that well.”
He looked at me and sighed again, “You never know how hard it is to be me.”
“I know, you talk a lot.”
“Whatever.”
“Yeah.”
We looked at each other and burst out laughing. The wind carried our laughs to the bottom of the hill. I stopped sooner and I found myself looking at him. His hair was covering his forehead as he laughed and tucked his chin in. His boy-hand grasped the tree bark as he was trying to get a hold on himself.
I smiled to myself and turned my face away.
I sometimes wish I was like him.
The sky turned orange slowly as the sun drowned in the horizon. Shades of red crawled through the clouds and covered every corner of the sky. It was getting late.
“We should go home,” I said when he was messing around with branches and sticks, “it’s almost dusk.”
He nodded quickly and threw away the sticks in his hands. I helped him to get up and he laughed nervously.
“Come on, your mother will start worrying if you’re not home by six.”
He grumbled, “I should be the one saying that.” And even the deafest person in the world would’ve heard him muttering ‘women’ under his breath.
I put my hoodie on and we started walking downhill to our homes.
“Autumn is beautiful, isn’t it?” He said as he forcefully pulled my hood down and messed my hair up.
I didn’t answer, I knew it made him annoyed but I didn’t care. On the junction in which we had to part, I shouted at him when he was already walking away.
“You know, I think it’s funny how you think that autumn is beautiful,”
Yes, and just like the sunset,
“when-really- everything is dying.”
***
bisa dibaca di Wattpad: When Autumn Falls